NasionalNews

PIKI : Ketahanan Pangan, Tolak Ukur Kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran

31
×

PIKI : Ketahanan Pangan, Tolak Ukur Kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Nusaborneo.com – Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabumingraka telah melewati 100 hari masa pemerintahan. Dalam rentang waktu tersebut, tingkat kepuasan publik mencapai angka yang cukup tinggi. Dari beragam survei, kinerja pasangan ini bersama Kabinet Indonesia Maju (KIM) dipandang publik cukup menjanjikan.

Survei Indikator Politik Indonesia menunjukan tingkat kepuasan publik mencapai 79,3 persen sementara survei Litbang Kompas menunjukan kepuasan masyarakat mencapai 80,9 persen. Dokumen Asta Cita yang disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) berisi Visi dan 8 Misi Astra Cita Prabowo – Gibran.

Salah satu dari dari delapan Asta Cita, pasangan Prabowo – Gibran, pada poin kedua memberi perhatian pada sektor swasembada pangan, energi energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Selain itu, Prabowo Gibran juga menetapkan 17 program yang disebut sebagai Program Prioritas untuk diterapkan selama masa pemerintahannya. Dalam program prioritas ini, isu swasembada pangan, energi, dan air menempati prioritas pertama. Hasil survei ini dipandang menjadi modal politik bagi pasangan Prabowo – Gibran dalam menuntaskan janji politiknya yang tertuang dalam Asta Cita.

Dalam Riliesnya untuk media ini, Sabtu (01/02/2025), Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI), Badikenita Puteri Sitepu mengatakan paradigma pembangunan harus digeser bila ingin swasembada pangan. Sebab, menurutnya, tantangan pangan saat ini sangat kompleks yang mencakup sulitnya distribusi akibat keterbatasan infrastruktur, impor pangan, sampai degradasi lahan pertanian.

“Dari tahun 2018 hingga 2024 terjadi penyusutan luas lahan sawah di Indonesia secara drastis dari 8 juta lahan area pertanian menjadi 7 juta akibat alih fungsi lahan”, kata Sitepu saat menjadi pembicara kunci Refleksi Awal Tahun DPP PIKI, Kamis (30/1/2025) di Aula STISIP/STMIK Widuri, Jalan Palmerah Barat 353, Jakarta Selatan.

Namun menurut Puteri Sitepu Indonesia masih memiliki luasan lahan yang cukup besar dan memadai. Lahan ini, lanjutnya, bila dikelola dengan baik akan menjadi potensi pertanian dan pangan yang cukup untuk swasembada.

“Kita memiliki lahan pertanian yang luas, teknologi pertanian yang modern, serta pasar domestik yang besar dan ini merupakan potensi kita”, urai Badikenita Puteri Sitepu yang juga ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Selain soal berkurangnya luas lahan, Puteri juga menilai ketergantungan impor gandum dan kedelai menjadi kendala dalam swasembada. Ketergantungan itu, menurutnya, membuat Indonesia rentan terkena dampak fluktuasi harga global.

“Susu itu bagian dari budaya kami (suku Karo). Ketika pasokan terganggu masyarakat resah. Ini bukti kita harus mandiri dalam produksi pangan”, jelas Puteri.

Ketua Dewan Penasehat DPP PIKI, Baktinendra Prawiro juga menekankan pangan harus menjadi paradigma pembangunan Indonesia. Dia menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah Prabowo – Gibran merupakan langkah progresif namun membutuhkan pengawasan.

Karena itu menurut Prawiro, diversifikasi pangan, distribusi sumber daya, dan afirmasi bagi petani dan nelayan harus dipastikan.

“Tanpa kecukupan pangan dan energi kita rentan terhadap krisis ekonomi dan sosial”, terang Prawiro.

Menilai pelaksanaan MBG, analisis kebijakan publik Jeanne Francoise yang juga Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden mengatakan negara-negara di ASEAN telah memiliki pengalaman mengenai kebijakan pangan. Menurut Jeanne Francoise, ada isu-isu baru yang akan menjadi masalah potensial bagi Indonesia dalam makan siang gratis seperti ketahanan pangan, limbang makanan, dan mitigasi tipuan.

“Pemerintah daerah di 38 provinsi di Indonesia, akan mengalokasikan dana daerah untuk anggaran pemberian makan gratis bagi daerah paling miskin atau 3 T (tertinggal, terjauh, terluar)”, ungkap Francoise.

Francoise mengatakan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas program MBG membutuhkan kolaborasi atas dengan United Nations Children’s Fund (Unicef), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab atas nasib anak-anak di dunia.

“BGN membutuhkan data penelitian dari UNICEF untuk pelaksanan MBG ini. Makanan akan disesuaikan dengan tingkat tertentu sehingga Menu tidak boleh sama siswa SD, SD, dan SMA”, ujar Francoise.

Namun penerapan MBG ini diberi catatan oleh Ketua STISIP Widuri, Prof. Robert MZ Lawang yang mengatakan paradigma pangan masih berorientasi kota. Padahal dalam kenyataannya penduduk Indonesia ada di pedesaan yang hidup dengan dinamika pedesaan.

Robert Lawang mengatakan keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi kunci ketahanan pangan yang diatur dalam Keputusan Kementerian Desa (Kepmendesa) No. 3 Tahun 2025.

“Makan Bergizi Gratis ini sangat tergantung dengan tiga pilar yang menjadikan BUMDes sebagai aktor kunci. Pertama, sebagai stimulus ekonomi lokal, Kegiatan pendukung diluar rantai pasok, dan menciptakan ekonomi desa”, kata Lawang.

Lawang berharap program MBG akan menciptakan siklus ekonomi desa yang berkelanjutan dengan pengelolaan produk lokal yang dapat dipasarkan dan dikonsumsi di dalam maupun di luar desa.

“Dengan adanya kebijakan pengalokasian minimal 20% dana desa untuk ketahanan pangan dan penyertaan modal bagi BUMDes, langkah-langkah strategis perlu dirancang agar program ini berjalan efektif”, jelas Lawang.

Kritik terhadap ketahanan pangan juga disampaikan oleh Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologia (STFT) Jakarta, Prof. Binsar Pakpahan karena program pangan dan energi pada gilirannya akan memicu deforestasi besar-besaran.

Pakpahan mengatakan, keadilan ini harus ditujukan dengan jelas dan bermanfaat untuk seluruh ciptaan.

“Pembukaan lahan besar-besaran saat ini memicu deforestasi besar-besaran dan memicu kiamat ekologi”, kata Pakpahan.(red*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *